KAREBAKALTIM.com ? Hari Pohon Sedunia diperingati pada 21 November setiap tahunnya. Peringatan ini bertujuan untuk mengampanyekan gerakan menanam pohon.
Hal itu dapat mencegah dampak kerusakan alam dan perubahan iklim di seluruh dunia. Komunitas Pecinta Alam di Bontang lantas tak melewatkan momentum tersebut.
Dalam rangka peringatan hari Pohon Sedunia, mereka menggelar serangkaian acara bertajuk ?Refleksi Ekologi Kota Bontang?. Yang diawali dengan Talkshow dan ditutup dengan penanaman mangrove.
Ketua Umum Mapala Stitek Bontang, Fajri mengatakan, kegiatan itu diharapkan mampu menciptakan tumbuhnya kesadaran dan peran aktif masyarakat, penggiat dan pecinta alam akan pentingnya lingkungan hidup yang sehat.
Topik utama dalam kegiatan talkshow tersebut, kondisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Bontang. Menurutnya, dalam upaya memberikan kenyaman dan lingkungan sehat bagi warga kota, penyediaan RTH dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan.
?Pertumbuhan kota yang begitu cepat berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau. Permasalahan perkotaan semakin berat karena hadirnya fenomena perubahan iklim, sehingga kota menjadi tidak nyaman untuk ditinggali,? kata Fajri.
Hal itu juga dapat memberi kontribusi terhadap penurunan emisi karbon untuk penurunan pemanasan global. Penyediaan RTH di perkotaan merupakan amanat dari UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur pengembangan kawasan perkotaan dilihat dari aspek penataan ruang.
Dalam UU tersebut, disebutkan RTH merupakan sub sistem tata ruang dan infrastruktur wilayah, khususnya dalam pengembangan permukiman dan perkotaan yang berbasis pada potensi keanekaragaman hayati sebagai sumber daya alam setempat. UU tersebut mengamanatkan bahwa perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat ketentuan rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH), dan mensyaratkan luas RTH minimal sebesar 30% dari luas wilayah kawasan perkotaan yang dibagi menjadi RTH Publik minimal 20% dan RTH Privat minimal 10%.
Ini menjadi tuntutan bagi Kota Bontang untuk berusaha menambah dan meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH. Dia bilang, meski target luasan RTH yang akan dicapai sudah jelas dan sesuai dengan standar nasional.
Namun, yang terpenting adalah tindakan nyata penerapan upaya-upaya perluasan area RTH. Menurutnya, memperluas RTH juga tidak akan berarti jika lahan hijau eksisting tidak turut dipertahankan.
Mempertahankan dan memperluas RTH kiranya menjadi bagian penting yang terus diperjuangkan dalam penataan kota. Apalagi, ke depannya, perkotaan akan menghadapi tekanan pertumbuhan penduduk dan perubahan lingkungan yang lebih ekstrem.
?Jika kita menakar luas wilayah normal Kota Bontang yakni 497,57 km2, dan didominasi sebanyak 70,29 persen lautan. Target RTH mencapai 30 persen akan sulit tercapai. Untuk itu, dalam talk show ini kami ingin mendengar pemaparan dari Pemerintah Kota,? katanya.
Sementara itu, Senior Mapala STIE Makassar, Bakhtiar Wakkang yang turut hadir dalam kegiatan itu, mengatakan bahwa lahan yang kini telah dibangun sebagai kawasan-kawasan hijau dalam bentuk hutan kota, belum menjadi jaminan sebagai kawasan hutan definitif, sehingga sangat memungkinkan diubah untuk kepentingan bangunan lain.
Ketersediaan lahan dengan status peruntukan yang jelas perlu ditetapkan secara lugas, sebagai wahana pembangunan dan pengembangan hutan kota, agar penyelenggaraannya dapat dilakukan secara terprogram.
?Pemerintah harus berkomitmen terkait hal itu. Kawasan hijau yang sudah ada harus dipertahankan. Prioritas utama yang harus menjadi pijakan adalah tata ruang dibentuk guna melindungi ekosistem dan ekologi,? katanya.
Menurutnya, pemerintah perlu secepatnya mendorong lahirnya peraturan daerah tentang Ruang Terbuka Hijau secara umum dan hutan kota secara khusus agar perencanaan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan hutan kota memiliki kekuatan hukum yang jelas dan tegas.
?Mengingat luasnya aspek pengelolaan hutan kota dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemanfaatan bagi kepentingan sosial maupun ekonomi dan ekologis, maka perlu kejelasan tentang institusi atau badan pengelola hutan kota dapat berperan sebagai infrastruktur hijau,? ujarnya, saat menjawab pertanyaan dari salah satu peserta, Sabtu (20/11/2021) 23.00 WITA, sebelum kegiatan ditutup. (*)
Penulis : Mirah Hayati