KAREBAKALTIM.com, Bontang — Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni berkomentar atas keputusan pemerintah pusat yang memangkas dana bagi hasil alias DBH. Sebab DBH Kota Bontang 2026 terjun bebas. 2025 banyak sekali. Mencapai Rp1.239 miliar. 2026 hanya Rp321 miliar.
Fakta tersebut tentu saja membuat politisi Golkar asal Sunda itu keteteran dalam menentukan sikapnya. Belum lagi sejumlah program sudah disahkan dan diyakini betul akan dijalankan.
Nahas, satu kebijakan pusat harus membongkar ulang pikiran para birokrat Bontang dalam rancangan APBD 2026 mendatang. Membidik masalah ini, Neni mengaku akan melakukan penataan ulang.
Istilahnya refocusing: membatalkan kegiatan yang dianggap tak relevan atau dapat ditunda di periode berikutnya. Artinya, program yang dapat dikerjakan hanya lah program prioritas.
“Kita akan menata ulang. Kita akan refocusing,” ucap Neni kepada awak media beberapa waktu lalu.
Situasi ini adalah objek keprihatinan yang mendalam kata Neni. Alasannya jelas: Kota Bontang jauh dari kemandirian fiskal. Sangat lemah.
“Ini menjadi keprihatinan sebetulnya. Buat Kota Bontang yang kemampuan fiskalnya lemah,” tukas Neni.
Dihimpun dari pemberitaan sebelumnya, bukti lemahnya fiskal Bontang tercatat dalam beberapa tahun terakhir PAD kota ini tak begitu signifikan.
Itu jelas di 3 tahun terakhir proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pendapatan Daerah mengalami penurunan. Bukan PAD yang turun. Tapi proporsinya.
Rinciannya, 2022 realisasi Pendapatan Daerah 1,797 triliun. PAD Rp231 miliar. Artinya proporsi PAD terhadap pendapatan daerah 12,9 persen.
2023, realisasi Pendapatan Daerah 2,448 triliun. Realisasi PAD Rp264 miliar. Artinya proporsi PAD terhadap pendapatan daerah hanya 10,8 persen.
2024, realisasi Pendapatan Daerah Rp2,800 triliun. PAD Rp301 miliar. Berarti proporsi PAD hanya 10,75 persen.
“PAD-nya juga kita lemah. Kita bergantung dana transfer, karena pengolah,” ucap Neni.
Neni tampak menyesali kebijakan pusat. Sembari ia paparkan bahwa UU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda itu sepertinya tak berlaku lagi.
“Ternyata tidak berlaku. Katanya daerah pengolah itu dapat 1 persen. Jadi UU Nomor 1 Tahun 2022 itu tidak dijalankan,” terangnya.
Membaca kebijakan tersebut, Wali Kota dua periode itu sempat bercanda dan punya niat mengusul agar harus ada uji materi UU. Di samping itu, pemerintah harus memutar otak bekerja dengan baik, benar, dan maksimal.
“Dan ini tentu kita harus bekerja maksimal. Tentu harus uji materi,” ucapnya ketawa lagi. “Karena kalau begini terus sampai kapan?,” tanya dia.
Menghadapi situasi tersebut, Neni berharap sekali ada kolaborasi kuat antara pemerintah daerah dan pihak perusahaan. Misalnya dalam hal program corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
“Kita saat ini bagaimana berkolaborasi, bersinergi (dengan perusahaan). Nanti biar pak Wakil (Ketua Forum CSR) yang mengurus supaya berjalan CSR-nya,” ucap Neni diiyakan Agus Haris.
Yang jelas, masih kata Neni, “Kalau kita ikut mandatory spending, dana kelurahan itu 5 persen dari APBD, jadi mungkin tidak bisa menyentuh itu. Nggak apa-apa. Insyaallah kita bisa berkolaborasi dengan program pemerintah pusat,” tandasnya.
Lebih jauh Neni mengaku sikap pemerintah pusat itu adalah bentuk penghisapan. Dan seolah-olah tidak mendukung pembangunan daerah.
Pun demikian Neni menyampaikan agar semua pihak, tentu saja utamanya para pemegang jabatan pemerintahan di Kota Bontang, harus bekerja pro rakyat. “Kita memang harus responsif. Dengan tetap pro rakyat. Sekalipun berat,” tutur Neni. (Adv)