KAREBAKALTIM.com, Samarinda — Ketua Komite I DPD RI, Dr. dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.N, menyoroti sejumlah isu strategis nasional dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Perwakilan DPD RI Kalimantan Timur, Jalan Gadjah Mada, Samarinda pada Selasa (5/8/2025) siang.
Dalam pertemuan bersama awak media, Andi Sofyan Hasdam mengupas persoalan mendalam mengenai sistem pemilu, otonomi daerah, hingga arah revisi undang-undang pemerintahan.
Salah satu topik utama yang disorot adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Menurut Andi Sofyan, keputusan MK yang menetapkan jeda 2,5 tahun antara pemilu pusat dan daerah menimbulkan perdebatan konstitusional.
“Permasalahannya, kalau pilkada dilaksanakan 2,5 tahun setelah pemilu nasional, maka siklus pemilu kepala daerah menjadi 7,5 tahun. Ini berbenturan dengan Pasal 18 UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu setiap lima tahun secara demokratis,” ujar Andi Sofyan Hasdam.
Ia menjelaskan bahwa dorongan agar pemilu nasional dan daerah tidak digelar di tahun yang sama datang dari KPU sendiri saat rapat kerja dengan DPD RI. Alasannya, beban administratif dan teknis terlalu berat jika dua agenda besar tersebut diselenggarakan bersamaan.
Hal itu terbukti dari tingginya angka kelelahan hingga kematian petugas pemilu di masa lalu. Namun, keputusan MK yang mengakomodasi hal itu justru memunculkan implikasi hukum baru.
“Kami berharap ada solusi terbaik dalam Undang-Undang Pemilu mendatang. Walaupun kewenangannya ada di DPR RI, tapi keputusan MK itu final dan mengikat,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Andi Sofyan Hasdam juga menanggapi wacana pengembalian pilkada dari sistem pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD. Ia mengutip pernyataan pakar hukum tata negara Prof. Ryaas Rasyid, yang menyebut bahwa pemilu langsung tidak pernah menjadi agenda resmi reformasi.
“Waktu awal reformasi 1999, pemilihan kepala daerah masih lewat DPRD. Baru tahun 2004 saat Pak SBY dipilih secara langsung, sistem pemilu langsung mulai diterapkan. Tapi sekarang muncul dilema. Apakah akan dikembalikan ke DPRD atau tetap langsung? Ini sedang kami godok,” jelasnya.
Ia menyadari bahwa pemilu langsung memiliki tantangan besar, terutama di daerah-daerah dengan tingkat pendidikan pemilih yang masih rendah. Namun, mengembalikan sistem ke DPRD juga berisiko memundurkan proses demokratisasi.
Selain soal pemilu, Komite I DPD RI juga tengah mengkaji revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Andi Sofyan Hasdam menyoroti semakin sempitnya ruang otonomi daerah, terutama setelah kewenangan-kewenangan penting seperti perizinan tambang dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) ditarik ke pemerintah pusat.
Menurutnya, saat ini banyak kepala daerah merasa tidak lagi punya ruang gerak. DPD RI pun mulai mengundang berbagai asosiasi seperti APKASI, APEKSI, dan lainnya untuk menyerap aspirasi sebelum menyusun rekomendasi resmi.
Mantan Walikota Bontang itu juga menyebut bahwa Komite I tengah mematangkan sejumlah RUU penting lainnya, seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Daerah Kepulauan, yang dinilai sangat penting untuk mengakomodasi kekhususan dan kebutuhan wilayah tertentu di Indonesia.
“Semua ini sedang dalam tahap pembahasan intensif. Kami di Komite I menangkap aspirasi dari berbagai daerah. Intinya, kami ingin memastikan bahwa negara hadir secara adil dan proporsional, baik untuk daerah di daratan maupun kepulauan,” pungkasnya. (Bey)